Wednesday, April 18, 2012

Ogoh-ogoh Kala Peceng


Saat menyambut tahun baru Caka yakni sehari sebelum Hari Raya Nyepi di Bali, dilaksanakan upacara Tawur Kesanga. Kemudian pada sore hari dilanjutkan dengan Pengerupukan yang dimeriahkan dengan pengusungan ogoh-ogoh oleh warga keliling Banjar maupun Desa setempat.

Di tahun 2006 (tahun caka 1928) saya dengan anggota pemuda di Banjar Umadesa, Desa Peguyangan Kaja, Kota Denpasar membuat ogoh-ogoh Kala Peceng. Perwujudan Bhutakala ini diambil karena sifatnya yang rakus dan pemarah, walaupun dengan kecacatan yang dimilikinya. Sifat negatif inilah yang akan dikembalikan keasalnya di malam Pengerupukan.

Proses pengerjaan ogoh-ogoh ini menghabiskan waktu kurang lebih 3 minggu. Pertama-tama dimulai dengan perancangan kerangka dengan kayu, kemudian pembentukan badan menggunakan anyaman bambu (bambu untuk bahan gedeg). Setelah anyaman bambu dirasa cukup rapat kemudian dilanjutkan dengan menempel dengan kertas bekas (koran, pembungkus semen, dll). Untuk bahan topeng dan telapak tangan dan kaki menggunakan gabus (Styrofoam). Bahan gabus dipilih karena sifatnya yang gampak dibentuk dan ringan, sehingga mudah dibentuk. Setelah semua terpasang maka dilanjutkan dengan pengecatan dan mewarnai detail-detail bentuknya. Kemudian dilanjutkan pemasangan rambut, kain dan asesoris-asesorisnya.

Pembiayaan ogoh-ogoh diperoleh dari sumbangan warga setempat serta dari beberapa pemilik usaha di wilayah kami. Rasa kebersamaan dan kreativitas para pemuda menjadi modal dan  semangat kerja dalam menciptakan ogoh-ogoh ini.

Monday, April 16, 2012

Ogoh-ogoh di Bali


Upacara Tawur Kesanga di Bali selalu dimeriahkan dengan pawai serta pengarakkan ogoh-ogoh keliling Banjar maupun Desa masing-masing. Ogoh-ogoh adalah sebuah ekspresi kreatif masyarakat Hindu di Bali dalam memaknai perayaan pergantian Tahun Caka.
Dalam pembuatan ogoh-ogoh masyarakat di Bali mengambil bentuk-bentuk raksasa maupun tema-tema yang mengilustrasikan sifat-sifat negatif seperti pemalas, rakus, pemarah dan masih banyak lagi bentuk-bentuk lainnya, sebagai perlambang sifat-sifat negatif yang harus dilebur agar tidak menggangu kehidupan manusia.
Ogoh-ogoh yang diciptakan kemudian dihaturkan sesaji natab caru pabiakalan sebuah ritual yang bermakna nyomia, mengembalikan sifat-sifat Bhutakala ke asalnya. Kemudian dilanjutkan dengan prosesi pengerupukan pada sore harinya. Seluruh lapisan masyarakat ikut bersama-sama meramaikan dan beberapa warga mengusung ogoh-ogoh mengelilingi jalan-jalan desa dan mengitari catus pata sebagai simbol siklus sakral perputaran waktu menuju ke pergantian tahun baru Caka. Sebagai akhir prosesi ritual tersebut ogoh-ogoh itu di-prelina atau mengembalikan keasalnya dengan dilebur atau dibakar.

Pada upacara Tawur Kesanga dan ritual Ngerupuk tersebut mengandung dua makna yaitu :
1) mengekspresikan nilai-nilai religius dan ruang-waktu sakral berdasarkan sastra-sastra agama,
2) merupakan karya kreatif yang disalurkan melalui ekspresi keindahan dan kebersamaan.